Beranda | Artikel
ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYIAH..?? ATAUKAH SEBALIKNYA..??!!
Senin, 13 Februari 2012

ASWAJA SUFI MENIRU-NIRU SYIAH..?? ATAUKAH SEBALIKNYA..??!!

(studi banding antara aqidah tokoh syi’ah :Al-Khumaini dan aqidah kaum sufi : At-Tijaani, Alwi Al-Maaliki, Habib Al-Jufri, dan Habib Munzir)

Sungguh kita menemukan permusuhan yang sangat sengit dari kaum syi’ah dan aswaja imitasi (baca : sufi) terhadap aswaja asli (baca : salafy atau yang dinamakan oleh kaum sufi sebagai wahabi). Seakan-akan musuh mereka hanyalah kaum wahabi. Ada apa gerangan antara Syi’ah dan Aswaja, kenapa sama-sama bersepakat memusuhi kaum wahabi..??!!

Rahasianya adalah adanya kesamaan antara dua kelompok ini, terutama dalam peribadatan kepada penghuni kuburan dan para wali !!!

Tidak heran jika SYI’AH & ASWAJA SUFI :

–         Sama-sama hobi meninggikan kuburan…??!!

–         Sama-sama hobi beribadah di kuburan…??!!

–         Sama-sama hobi meminta dan beristighotsah kepada penghuni kuburan..??!!

–         Sama-sama hobi mencari barokah dari pasir yang ada dikuburan para wali??

–         Sama-sama berlindung dibalik topeng “cinta kepada Ahlul Bait…”, atau “Demi menghormati Ahlul Bait”, seakan-akan kecintaan kepada Ahlul Bait dan kesyirikan adalah dua perkara yang saling melazimkan !!!

Entah…apakah kaum aswaja sufi yang ikut-ikutan taqlid buta kepada kaum syi’ah??, ataukah sebaliknya??!!

Seharusnya kepanjangan ASWAJA (Ahlus Sunnah…. = Pelaku sunnah….) menunjukkan tidak mungkinnya bersatu atau bersepakat antara Aswaja dan Syi’ah, karena syi’ah adalah lawan dari sunnah. Akan tetapi kenyataan yang terjadi justru Aswaja dekat dengan Syi’ah dan sama-sama memusuhi wahabi. Rahasianya… karena Aswaja ternyata tidak menjalankan sunnah-sunnah Nabi, bahkan ibadah-ibadah yang mereka lakukan adalah kreasi-kreasi ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Bukankah sunnah adalah perkara-perkara yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?, lantas kenapa Aswaja doyan mepraktekan kreasi-kreasi ibadah yang sama sekali tidak pernah dikerjakan oleh Nabi??…Bahkan aswaja menjadikan ibadah-ibadah hasil kreasi tersebut sebagai tolak ukur kecintaan kepada Nabi??, bahkan memusuhi orang-orang yang berpegang teguh dan tidak mau beribadah kecuali dengan sunnah Nabi??!!

Karenanya bagaimana mungkin aswaja bisa membantah syi’ah jika mereka sendiri menjauhkan diri dari sunnah??!!

Terlebih lagi ternyata…..kesyirikan yang diperjuangkan oleh kaum syi’ah sama dengan kesyirikan yang diperjuangkan oleh sebagian kaum aswaja sufiyah.

KESYIRIKAN MENURUT AL-KHUMAINI…

Kesyirikan adalah menyerahkan ibadah kepada selain Allah (Silahkan kembali baca https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/128-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-7-qperkataan-abu-salafy-berdoa-kepada-selain-allah-tidak-mengapa-selama-tidak-syirik-dalam-tauhid-rububiyahq, juga tentang hakekat kesyirikan kafir Quraisy di https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/126-bantahan-terhadap-abu-salafy-seri-5-hakikat-kesyirikan-kaum-muysrikin-arab)      

Adapun Kesyirikan menurut Al-Khumaini hanyalah jika seseorang meyakini adanya Rob (Tuhan/Pencipta) selain Allah, adapun jika seseorang sujud dan berdoa kepada makhluk –selama tanpa disertai keyakinan bahwa makhluk tersebut adalah Rob Pencipta- maka hal ini bukanlah kesyirikan !!!

Atas dasar definisi kesyirikan ala Al-Khumaini ini maka melazimkan bahwa kaum musyrikin Quraisy dahulu tidaklah terjatuh dalam kesyirikan, karena mereka mengakui bahwasanya Pencipta hanya satu yaitu Allah. (lihat kembali https://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/82-persangkaan-abu-salafy-al-majhuul-bahwasanya-kaum-musyrikin-arab-tidak-mengakui-rububiyyah-allah)

Perhatikanlah pernyataan-pernyataan Al-Khumaini berikut ini :

PERTAMA : Meminta kepada makhluk bukanlah kesyirikan selama meyakini bahwa makhluk tersebut bukanlah Tuhan Pencipta, akan tetapi telah diberi kekuatan oleh Allah

“Karenanya jika seseorang meminta kepada seseorang selain Allah suatu amal yang penting baik amalan kecil dengan menjadikan orang tersebut sebagai Rob maka ia adalah seorang musyrik berdasarkan hukum akal dan Al-Qur’an. Adapaun jika ia meminta kepadanya dengan dasar bahwa Rob Pencipta alam telah memberikan kepadanya kekuatan dan ia butuh kepada Allah serta tidak independent dalam amalan ini maka ini bukanlah amal ketuhanan, dan meminta dipenuhinya hajat darinya tatkala itu bukanlah keysirikan” (Kasyful Asroor hal 54-55)

KEDUA : Meminta kepada mayat bukanlah kesyirikan. Bahkan meminta kepada BATU bukanlah kesyirikan!!!

Al-Khumainy berkata :

“Bisa jadi dikatakan bahwasanya kesyirikan adalah meminta mayat-mayat untuk menunaikan hajat, karena mayat tidak memberi manfaat dan mudhorot, baik mayat seorang nabi maupun seorang imam, karena mayat-mayat seperti benda-benda mati.

Jawaban atas persangkaan ini :

Pertama : Kalian tidak menjelaskan kepada kami makna kesyirikan dan kekufuran hingga kalian menganggap semua yang kami inginkan merupakan kesyirikan–berdasarkan pendapat kalian-. Dan setelah jelas bahwasanya kesyirikan adalah meminta sesuatu kepada seseorang selain Allah atas dasar ia adalah Rob (Tuhan/Pencipta), adapun selain ini maka bukanlah kesyirikan. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara yang hidup dan yang mati. Bahkan meminta dipenuhi hajat dari batu dan tanah maka bukanlah kesyirikan, meskipun hal ini adalah perbuatan yang sia-sia dan batil” (Kasyful Asroor hal 56)

Subhaanallah…meminta kepada batu bukanlah kesyirikan ?? inilah hakekat agama syi’ah !!!

KETIGA : Ruh seseorang setelah mati maka semakin hebat dan semakin diberi kekuatan oleh Allah dan semakin tinggi kedudukannya.

Al-Khumaini berkata “

“Kami meminta bantuan dari ruh-ruh para nabi dan ruh-ruh para imam yang suci yang telah dianugerahi qudroh (kemampuan/kekuatan) oleh Allah. Dan telah ditetapkan dengan dalil-dalil yang qot’i (pasti) serta dalil-dalil akal yang jelas dalam falsafat yang tinggi bahwasanya ruh itu tetap ada setelah kematian dan kemampuan ruh-ruh untuk meliputi alam ini secara sempurna setelah kematian lebih tinggi. Dan para ahli filsafat meyakini mustahil rusaknya ruh, dan hal ini merupakan perkara filsafat yang –sejak awal munculnya filsafat- jelas diterima oleh para ulama serta para pembesar ahli filsafat sebelum Islam dan sesudah Islam. Kemudian perkara ini jelas diterima oleh seluruh agama, baik kaum yahudi, kaum nasrani, maupun kaum muslimin, dan mereka menganggap perkara ini merupakan doruuri dan badihi (perkara pokok/mendasar/yang harus ada) dalam agama mereka” (Kasyful Asroor hal 56)

Lihatlah bagaimana aqidah Khumaini, untuk melegalkan kesyirikan meminta kepada mayat-mayat. Justru ia meyakini bahwa setelah kematian mayat-mayat lebih hebat karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia, bahkan untuk meliputi alam secara sempurna???

Dalilnya apa ..??!! tidak satu ayatpun…apalagi hadits…, yang ada hanyalah keyakinan kaum ahli filsafat yunani yang tidak beragama, bukan yahudi dan juga bukan nasoro. Itulah landasan pijakan Khumaini !!!

Bandingkanlah aqidah Al-Khumaini ini dengan aqidah kaum sufi. Dimana sebagian kaum sufi melegalkan untuk berdoa kepada wali (bahkan kepada wali yang sudah meninggal) dengan dalih bahwasanya wali telah diberi kekuasaan dengan izin Allah. Seorang tokoh sufi besar yang bernama At-Tijaani memperkuat keyakinan ini.  Berkata penulis kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil ‘Abaas At-Tiijaani (Ali Al-Faasi) :

Adapun perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani radhiallahu ‘anhu : “Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku berkata kun (jadi) makan  (yakun) terjadilah” …dan juga perkataan sebagian mereka : “Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku” dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu ‘anhum yang semisal ini, maka berkata (At-Tijaani) radhiallahu ‘anhu : “Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-‘Udzma (kerajaan besar) dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah memberikan mereka kuasa kalimat “kun”, kapan saja mereka berkata kepada sesuatu “kun” (jadilah) maka terjadilah tatkala itu” (Jawaahirul Ma’aani wa Buluug Al-Amaani 2/62)
Hal ini juga dikatakan oleh tojoh sufi zaman kita yang bernama Habib Ali Al-Jufri, ia berkata bahwasanya wali bisa menciptakan bayi di rahim seorang wanita tanpa seorang ayah dengan izin Allah (silahkan lihat http://www.youtube.com/watch?v=kDPMBJ7kvfI)

Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini ini dengan tokoh sufi zaman sekarang yang sangat digandrungi oleh aswaja Indonesia. Yaitu Muhammad Alwi Al-Maliki, ia berkata di kitabnya mafaahiim yajibu an tushohhah :

فَالْمُتَصَرِّفُ فِي الْكَوْنِ هُوَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَلاَ يَمْلِكُ أَحَدٌ شَيْئاً إِلاَّ إِذَا مَلَّكَهُ اللهُ ذَلِكَ وَأَذِنَ لَهُ فِي التَّصَرُّفِ فِيْهِ

“Maka yang mengatur di alam semeseta adalah Allah subhaanahu wa ta’aala, dan tidak seorangpun memiliki sesuatupun kecuali jika Allah menjadikannya memilikinya dan mengizinkannya untuk mengaturnya”
Ia juga berkata tentang kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya Nabi :

فَإِنَّهُ حَيِّيُ الدَّارَيْنِ دَائِمُ الْعِنَايَةِ بِأُمَّتِهِ، مُتَصَرِّفٌ بِإِذْنِ اللهِ فِي شُؤُوْنِهَا خَبِيْرٌ بِأَحْوَالِهَا

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di dunia dan akhirat, senantiasa memperhatikan umatnya, mengatur urusan umatnya dengan izin Allah dan mengetahui keadaan umatnya

Bandingkan pula aqidah Al-Khumaini dengan perkataan Habib Munzir berikut ini :

“Istighatsah adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam, pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yang nyata, karena seluruh manfaat dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat, dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan atau kematian” (Kenalilah Aqidahmu 2 hal 75-76)

KEEMPAT : Meminta kesembuhan dari tanah bukanlah kesyirikan

Al-Khumaini berkata :

“Diantara pertanyaan mereka adalah, apakah meminta kesembuhan dari tanah merupakan keysirikan atau tidak?

Jawabannya telah jelas setelah memperhatikan makna syirik. Kesyirikan –sebagaimana yang kalian ketahui- adalah keyakinan bahwasanya seseorang adalah Rob (Tuhan/Pencipta) atau ia diibadahi atas dasar ia adalah Rob, atau meminta dipenuhinya hajat kepada seseorang atas dasar keyakinan bahwa ia independent dalam memberikan pengaruh…

Jika seseorang meminta kesembuhan dari tanah atau dari apapun dengan dasar ia adalah Rob atau Syarikat Allah atau Rob lain yang berlawanan dengan Allah yang independent dalam memberi pengaruh atau atas dasar keyakinan bahwasanya penghuni kuburan adalah Rob maka ini merupakan kesyirikan, bahkan kegilaan. Adapun jika karena meyakini bahwasanya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan telah menjadikan kesembuhan pada semangkuk pasir untuk memuliakan orang yang mati syahid yang telah mengorbankan kehidupannya untuk di jalan Allah, maka hal ini sama sekali tidak melazimkan adanya kesyirikan dan kekufuran” (Kasyful Asroor hal 65)

Karenanya kita tidak heran jika melihat kaum syi’ah berebutan mengambil pasir yang ada di kuburan ahlul bait di Baqii’ di kota Madinah.

Khumaini berdalil sesukanya…, tidak ada seorangpun yang meragukan kekuasaan Allah. Jangankan pasir…bahkan jika Allah berkehendak tentunya Allah mampu menjadikan apapun sebagai obat –bahkan kotoran-!!. Akan tetapi mana dalilnya…?, mana ayatnya…?, mana haditsnya…?, mana amal perbuatan/perkataan sahabat…?, mana perbuatan tabi’in…?, mana perbuatan/perkataan 4 imam madzhab…?, yang menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan pasir di kuburan orang sholeh sebagai obat??

Ternyata : aqidah ini juga tersebar di kalangan sebagian aswaja yang berebut-rebutan mengambili pasir dari kuburan Gus….!!!!

KELIMA : Aqidah Syia’h : meminta syafaat kepada mayat

Al-Khumaini berkata :

“Meminta syafaat kepada mayat adalah kesyirikan”

Jawabannya sebagaimana telah lalu secara terperinci bahwasanya para pemberi syafaat setelah meninggalkan dunia ini mereka bukanlah mayat. Bahkan –sebagaimana telah kami jelaskan- akan hidupnya ruh-ruh mereka dan abadinya ruh-ruh tersebut di alam serta meliputinya ruh-ruh tersebut terhadap alam ini merupakan perkara yang jelas diterima dalam filsafat kuno dan filsafat eropa ar-ruhiyah.

Kalaulah seandainya Nabi dan Imam setelah meninggal menjadi kayu dan batu dan benda mati lainnya –sebagaimana ungkapan mereka (*yaitu kaum wahabi)-, maka lantas kenapa meminta syafaat menjadi kesyirikan?, paling parah ini hanyalah merupakan perbuatan yang tidak ada faedahnya” (Kasyful Asroor hal 93)

Perhatikanlah para pembaca, Al-Khumaini menegaskan kembali bahwasanya meminta syafaat kepada kayu, batu, dan benda-benda mati bukanlah kesyirikan, akan tetapi hanya sekedar perbuatan yang tidak berfaedah. Hanya menjadi kesyirikan menurut Al-Khumaini jika meyakini bahwa batu tersebut adalah Rob/pencipta.

Dari pernyataan Al-Khumaini ini jelas bagi kita bahwa meminta syafaat kepada mayat merupakan aqidah orang syi’ah…. Ternyata aqidah ini sangat laris di kalangan kaum sufi !!!

KEENAM : Berdoa kepada Nabi atau Imam agar Allah mengampuni dosa merupakan aqidah Syi’ah

Al-Khumaini berkata ;

“Jawabannya, sesungguhnya syafaat bukanlah amalan ilahiyah (ketuhanan), karena pada hakekatnya adalah berdoa kepada Nabi dan Imam agar Allah mengampuni dosa orang ini. Dan ini adalah perbuatan seorang hamba dan bukan perbuatan Allah” (Kasyful Asroor hal 93).

 

 

Kota Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, 21-03-1433 H / 13 Februari 2011 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/522-aswaja-sufi-meniru-niru-syiah-ataukah-sebaliknya.html